ADSENSE

PERADABAN ISLAM DI MASA PEMERINTAHAN FATIMIYAH

Post a Comment

PERADABAN ISLAM DI MASA PEMERINTAHAN FATIMIYAH

Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, melebihi isu hokum dan mistisme. Pada abad ke VII dank e-VIII M, isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khalifah Umayyah dan Khalifah Abbasiyah. Meski Khalifah Abbasiyah mampu berkuasa dalam tempo yang begitu lama, akan tetapi periode keemasannya hanya berlangsung singkat. Puncak kemerosotan kekuasaan khalifah-khalifah Abbasiyah ditandai dengan berdirinya khilafah-khilafah kecil yang melepaskan diri dari kekuasaan politik Khalifah Abbasiyah. Khilafah-khilafah yang memisahkan diri itu salah satu diantaranya adalah Fatimiyah yang berasal dari golongan Syi’ah sekte Ismailiyah, yakni sebuah aliran sekte di Syi’ah yang lahir akibat perselisian tentang pengganti Imam Ja’far al-Shadiq yang hidup antara tahun 700-756 M. Fatimiyah hadir sebagai tandingan bagi penguasa Abbasiyah yang berpusat di Baghdad yang tidak mengakui kekhalifahan Fatimiyah sebagai keturunan Rasulullah dari Fatimah. Karena mereka menganggap bahwa merekalah ahlul bait sesungguhnya dari Bani Abbas.

Dalam tulisan ini akan membahas tentang pusat peradapan Islam di Mesir. Diantaranya:

1. Awal pembentukan dan perkembangan Dinasti Fatimiyah

2. Khalifah Daulah Fatimiyah

3. Masa Kemajuan dan Kontribusi Dinasti Fatimiyah terhadap Peradapan Islam

4. Masa kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fatimiyah

1. Awal Pembentukan dan Perkembangan

Dinasti ini mengklaim sebagai keturunan garis lurus dari pasangan Ali Ibn Abu Thalib dan Fatimah binti Rasulullah. Menurut mereka, Abdullah al-Mahdi sebagai pendiri dinasti ini merupakan cucu Ismail Ibn Ja’far al-Shadiq. Sedangkan Ismail merupakan Imam Syiah yang ketujuh .Tujuan berdirinya lain tidak untuk menyingkirkan Bani Abbas dan mengembalikan kepemimpinan Islam ke tangan keluarga

Setelah kematian Imam Ja’far al-Shadiq, syi’ah terpecah menjadi dua buah cabang. Cabang pertama meyakini Musa al-Kazim sebagai imam ketujuh pengganti Imam Ja’far, sedang sebuah cabang lainnya mempercayai Ismail Ibn Muhammad al-Maktum sebagai Imam Syiah ketujuh. Cabang Syiah kedua ini dinamakan syiah Ismailiyah. Syiah Ismailiyah tidak menampakan gerakannya secara jelas hingga muncullah Abdullah Ibn Maymun yang membentuk Syiah Ismailiyah sebagai sebuah sistem gerakan politik keagamaan. Secara rahasia ia mengirimkan misionari ke segala penjuru wilayah muslim untuk menyebarkan ajaran Syiah Ismailiyah. Kegiatan ini menjadi latar belakang berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika dan kemudian pindah ke Mesir

Keyakinan sekte Ismailiyah mengingatkan kita pada komunis awal, dengan sel-sel rahasia, sistem doktrin yang rumit, dan jaringan sistem propaganda yang luas untuk melawan tata sosial mapan. Salah satu cabang aliran itu, yaitu Karmatiah, bentuk republik kaum Baduwi di Bahrain. Suku-suku bangsa Berber berpotensi untuk memberontak terhadap penguasa di Baghdad, karena masih satu keturunan dengan penguasa Bani Umayah yang digulingkan Bani Abasiyah di Baghdad. Itu sebabnya bagi Dinasti Fatimiyah Tunisia, yang penduduknya sebagian besar orang Berber merupakan tempat paling baik untuk membangun kekuasaan dunia Islam baru, guna menggeser kekuasaan Abbasiyah. Dengan meningkatkan jaringan propaganda, mereka tidak bermaksud merebut Baghdad. Sebaliknya mereka menduduki Mesir, negeri yang telah memainkan peranan besar sekali dalam penyebaran Islam di masa awal perkembangan.

Negeri itu telah berhasil dikuasai berbagai dinasti sejak Ahmad Ibn Tulun mendirikan negeri merdeka pada 868. Ketika Jawahir, jenderal pasukan Fatimiyah sedang menghadapi armada Bizantium di Laut Tengah, keadaan Mesir terasa kacau dan lemah. Maka pada tahun 969 Jauhar menyerbu Fustat, yang merupakan titik pertahanan paling lemah. Segera setelah itu dia menyatakan Mesir sebagai benteng kekuasaan Ismailiyah. Segera setelah itu Fustat bagian Utara ditentukan sebagai Ibukota kekhalifahan Fatimiyah yang baru. Mereka bertekad untuk membangun kekaisaran Islam baru. Selanjutnya mereka menyebut Ibukota baru itu al-Kahirah, yang berarti sang penakluk. Secara bahasa sama dengan kata Mars. Nama itu kemudian lebih gampang diucapkan dengan Kairo. Sebagai perkembangan intelektual dan keilmuan kota Kairo telah membangun al-Azhar sebagai Universitas-Mesjid yang sangat potensial

2. Khalifah-Khalifah Daulah Fatimiyah

Khalifah–khalifah Daulah Fatimiyah secara keseluruhan ada empat belas orang, tetapi yang berperan adalah:

a. Ubaidillah al-Mahdi

b. Qa’im (322 H/934 M)

c. Mansur (334 H/945 M)

d. Mu’izz (341 H/952 M)

e. Aziz (664 H/973 M)

f. Hakim (386 H/996 M)

g. Zahir (411 H/1020 M)

h. Mustansir (427 H/1055 M)

Pada masa al-Aziz Mesjid al-Azhar mengalami perubahan dasar. Keistimewaan Mesjid ini, ia dimulai sebagai sebuah mesjid dan berkembang menjadi sebuah Universitas al-Azhar yang dibangun tahun 970 M sebagai mesjid yang baru, lama kelamaan berkembang menjadi pusat pendidikan tinggi islam yang terus berlanjut sampai sekarang. Semula perguruan tinggi al-Azhar dimaksudkan unruk menyebarluaskan doktrin Syi’ah, namun kemudian oleh Shalahuddin al-Ayyubi diubah menjadi pusat pendidikan Sunni sampai sekarang

3. Masa Kemajuan dan kontribusi Dinasti Fatimiyah terhadap Peradapan Islam

 a. Masa Pemerintahan

Bentuk pemerintahan pada masa Fatimiyah merupakan suatu bentuk pemerintahan yang dianggap sebagai pola baru dalam sejarah Mesir. Dalam pelaksanaannya Khalifah adalah kepala yang bersifat temporal dan spiritual. Pengangkatan dan pemecatan pejabat tinggi berada dibawah kontrol Khalifah. Menteri-menteri (Wajir) kekhalifahan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok militer dan sipil. Yang dibidangi oleh kelompok militer diantaranya: urusan tentara, perang, pengawal rumah tangga khalifah dan semua permasalahan yang menyangkut keamanan. Yang termasuk kelompok sipil diantaranya:

1) Qadi, yang berfungsi sebagai hakim dan direktur pencetakan uang

2) Abu Abdillah An-Nasafi. Ia menulis kitab al-Mashul. Kitab ini lebih banyak membahas masalah al-Ushul al-Madzhab al-Ismaily. Kemudian, ia juga menulis buku tentang falak dan sifat alam dengan judul Kaunul Alam dan al-kaunul Mujrof.

3) Abu Ya’kub as-Sajazi. Ia merupakan salah satu seorang penulis yang paling banyak tulisannya, diantaranya: Asasuda\wah, Itsbatun Nubuwah, al-Yanabi dan kitab al- Mawazin.

4) Abu Hanifah An-Nu’man Al-magribi. Ia menulis kitab Da’aimul Islam al-Yanabu, Kaifayatu Sholah, dan Ikhtilafu Ushulul Madhabib.

5) Ja’far ibnu Mansur Al-Yamani. Ia menulis kitabA’wiluzakah, Asyawahid wal bayan.

6) Hamiduddin Al-Kirmani. Ia telah menulis kitab Uyunul Akhbar, al-Mashobihu fi Itsbati Imamah.

c. Keilmuan dan Kesusastraan

Seorang ilmuan yang paling terkenal pada masa Fatimiyah adalah Yakub ibnu Killis. Ia berhasil membangun akademiakademi keilmuan yang menghabiskan ribuan dolar perbulannya. Pada masanya, ia berhasil membesarkan seorang ahli fisika yang bernama Muhammad al-Tamimi. Seorang ahli sejarah yang bernama Muhammad ibnu Yusuf al-Kindi dan ibnu Salamah al-Quda’i. Seorang ahli sastra yang muncul pada masa Fatimiyah adalah Al-Aziz yang berhasil membangun Mesjid Al-Azhar.

Fatimiyah ini adalah keberhasilannya membangun sebuah lembaga keilmuan yang disebut Daarul Hikam atau Daarul Ilmi yang dibangun oleh al-Hakim pada 1005 M. Bangunan ini dibangun khusus untuk propaganda doktrin ke-Syiahan. Kurikulum yang dikembangkan pada masa ini lebih banyak ke masalah keislaman, astronomi dan kedokteran.

Ilmu astronomi banyak dikembangkan oleh seorang astronomis Ali ibnu Yunus, kemudian Ali al-Hasan dan Ibnu Haytam. Dalam masa ini kurang lebih seratus karya tentang matematik, astronomi, filsafat dan kedokteran telah dihasilkan. Pada masa al-Mustansir, terdapat perpustakaan di dalamnya berisi 200.000 buku dan 2400 illiminated al-Qur’an. Ini merupakan bukti besar konstribusi Dinasti Fatimiyah bagi perkembangan budaya islam.

d. Ekonomi dan Perdagangan

Di bawah Fatimiyah, Mesir mengalami kemakmuran ekonomi dan vitalitas kultural yang mengungguli Iran dan daerah-daerah lainnya. Hubungan dagang dengan Dunia non- Islam dibina dengan baik., termasuk dengan India dan negerinegeri Mediterania yang beragama Kristen. Di samping itu, dari Mesir ini dihasilkan produk industri dan seni Islam yang terbaik. Istana khalifah yang dihuni 30.000 orang terdiri 1200 pelayan dan pegawai. Juga mesjid-mesjid, perguruan tinggi, rumah sakit dan pemondokan khalifah yang berukuran sangat besar menghiasi kota Kairo baru. Pasar yang mempunyai 20.000 toko luar biasa besarnya dan dipenuhi berbagai produk dari seluruh dunia. Keadaan ini menunjukan sisi kemakmuran yang begitu berlimpah dan kemajuan ekonomi yang begitu hebat pada masa Dinasti Fatimiyah di Mesir

Disegi pertanian Dinasti Fatimiyah juga mengalami peningkatan, keberhasilan pertanian di Mesir pada masa ini bisa di kelompokan kepada dua sektor;  

1) Daerah pinggiran-pinggiran Nil

2) Tempat-tempat yang telah ditentukan pemerintah untuk dijadikan lahan pertanian

 Sungai Nil merupakan sebagian pendukung bagi kelangsungan hidup orang-orang Mesir, kadang-kadang sungai Nil ini menuai penyusutan air sehingga masyarakat merasa kesulitan untuk mengambil air untuk diminum, untuk binatang ternak, maupun untuk pengairan tanam-tanaman mereka, namun sebaliknya adakalanya sungai Nil ini pasang naik, sehingga dataran-dataran Mesir kebanjiran, menyebabkan kerusakan lahan dan tanaman. Untuk mengatasi hal tersebut mereka membikin gunduan-gundukan dari tanah dan batu sebatas tinggi air tatkala banjir. Mereka membagi waktu untuk bercocok tanam dalam dua musim:

1) Musim dingin, (bulan Desember sampai bulan Maret) dengan aliran-aliran dari selokan sungai Nil, pada musim ini mereka biasa menanam gandum, kapas, pohon rami.

2) Musim panas, (bulan April sampai bulan Juli) karena air sungai Nil mulai surut, maka mereka mengairi sawah ladang dengan mengangkat air dengan alat. Pada musim ini mereka menanam padi, tebu, semangka, anggur, jeruk, dan lain-lain

e. Sosial Kemasyarakatan

Para khalifah sangat dermawan dan sangat memperhatikan warga mereka yang non-Muslim. Di bawah pemerintahannya, orang-orang Kristen diperlakukan dengan baik, apalagi pada masa pemerintahan al-Aziz. Ia adalah salah seorang khalifah Fatimiyah yang sangat menghargai orang-orang non-Muslim. Orang-orang Sunni pun menikmati kebebasan bernegara yang dilaksanakan khalifah-khalifah Fatimiyah sehingga banyak diantara da’i-da’i Sunni yang belajar di al-Azhar.

f. Pemahaman Agama

Sesuai dengan asal usul Dinasti Fatimiyah ini adalah sebuah gerakan yang berasal dari sekte Syi’ah Ismailiyah, maka secara tidak langsung dinasti ini sebenarnya ingin mengembangkan doktrin-doktrin Syi’ah di tengah-tengah masyarakat, namun dengan berbagai pertimbangan mereka tidak terlalu memaksa pemahaman ini harus diikuti oleh para penduduk, mereka bebas beragama sesuai dengan apa yang mereka yakini. Hal ini dilakukan supaya mereka selalu mendapat dukungan dari rakyat demi berdirinya Dinasti Fatimiyah di negeri para Nabi ini

4. Masa Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Fathimiyah Setelah al-Aziz meninggal, Abu Ali al-Mansyur yang baru berusaha sebelas tahun diangkat untuk menggantikannya dengan gelar al-Hakim. Kekuasaannya ditandai dengan berbagai kekejaman. Ia telah membunuh beberapa wazir, merusak beberapa gereja Kristen termasuk Gereja Holy Sefulchre (makam suci) di Paletina pada 1009 M. Peristiwa ini menjadi salah satu pemicu berkobarnya Perang Salib. Selain itu, ia juga memaksa orang Kristen dan Yahudi untuk memakai jubah hitam, mengendarai keledai dan menunjukan tanda salib bagi orang Kristen serta menaiki lembu dengan memakai bel bagi orang Yahudi. Kesalahannya yang paling fatal adalah pernyataannya yang menyatakan diri sebagai inkarnasi tuhan, yang kemudian dierima baik oleh sekte Syi’ah baru yang bernama Druz sesuai dengan nama pemimpinnya al-Daradzi yang berasal dari Turki. Pada 1021 M al-Hakim dibunuh di Muqattam oleh suatu konspirasi yang dipimpin oleh saudaranya sendiri, yang bernama Sita al-Muluk.

kaum Dzimmi dan Muslim non-Syi’ah. Anaknya Abu al-Hasan Ali Adhahir (1021 M/411 H-1035 M/427 H) naik tahta ketika masih berumur enam belas tahun. Sebagai orang yang cukup piawai ia berhasil kembali menarik simpati kaum Dzimmi. Namun, tak lama kemudian ia jatuh sakit karena peceklik dan meninggal dunia pada 1035 M. Sepeninggal Abu al-Hasan, tahta kekhalifahan diganti oleh Abu Tamim Ma’ad al-Musytansir (1035 M/427 H-1094 M/487 H) . Mulai masa ini sistem pemerintahan Dinasti Fatimiyah berubah menjadi parlemen, artinya khalifah hanya berfungsi sebagai simbol saja, sementara pemegang kekuasaan pemerintahan adalah para menteri. Oleh karena itulah masa itu disebut “ahdu nufuzil wazara” (masa pengaruh menteri-menteri). Al-Mustansir sebagaimana juga al-Zahir lebih mendekati keturunan Turki, hingga muncul dua kekuatan besar yaitu Turki dan Barbar. Perang saudarapun tidak dapat dielakkan. Setelah meminta bantuan Badrul Jamal dari Suriah, khalifah dan orang Turki dapat mengalahkan Barbar, dan berakhirlah kekuasaan orang Barbar di dalam Dinasti Fatimiyah.

Pada 1083 M kekuasaan Fatimiyah di Syria mulai goyah. Palestina selalu berontak dan kekuasaan Seljuk dari Timur pun mampu menguasai Asia Barat. Provensi-provensi Fatimiyah yang di Afrika mulai memboikot pembayaran pajak, ada yang menyatakan kemerdekaan atau kembali bersatu dengan Abbasiyah. Pada 1052 M, suku Arab Bani Hilal dan Sulaim bergerak ke Barat menguasai Tripoli dan Tunusia. Kemudian, pada 1071 M sebagian besar daerah Sycilia dikuasai oleh bangsa Normandia. Pada 446-454 H, Mesir dilanda wabah penyakit, kemarau panjang dan sungai Nil kering. Keadaan ini terulang kembali pada 459-464 H. Dengan adanya kejadian ini telah menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Pada 462 H amir Makkah dan Madinah melepaskan diri dari mazhab Ismailiyah dan Maroko menyatakan bebas dari kekuasaan Fatimiyah. Di Yaman, nama khalifah tidak disebut-sebut lagi dalam khotbahjum’at dan ini menandakan telah berkurangnya kekuasaan Fatimiyah di Yaman

Setelah al-Mustansir meninggal, kekhalifahan diganti oleh puteranya yang kedua yang bernama Abu al-Qosim Ahmad al-Musta’li. Anak yang pertama, Nizar melarikan diri ke Iskandariyah dan di sana mengumandangkan diri sebagai khalifah dengan gelar al-Mustafa li Din Allah. Ketika al-Musta’li mengetahui kejadian ini al-Afdhal yang mengangkat al-Musta’li membawa bala tentara untuk menangkap Nizar dan memenjarakannya sampai meninggal. Dengan kejadian ini rakyat terpecah menjadi dua. yang pertama kelompok Nizari dan kedua Musta’li. Di luar Mesir, kaum Nizari Ismailiyah asing sebagian berada di Syiria dan sebagiannya lagi di Pegunungan Persia Barat di bawah pimpinan Hasan Assabah. Gerakan inilah yang kemudian disebut dengan Asasin yang berasal dari kata Hasyasyin Paraganzais”. Kelompok ini menentang pimpinan Fatimiyah yang kemudian mereka menjadi pengikut Agakan, pemimpin kaum Khoja di India. Pada masa al-Musta’li ini tentara Salib mulai bergerak menuju pantai negeri Syam dan menguasai Antokia sampai Bait al-Maqdist. Setelah al-Musta’li wafat, ia digantikan oleh anak Abu Ali al-Mansur al-Amir yang masih berusia lima tahun (1101 M/495 H-1130 M/524 H). Kemudian, al-Amir dibunuh oleh kelompok Bathiniah. Al- Amir digantikan oleh Abu al-Maemun Abdu al-Majid al-Hafiz (524-544 M). Al-Hafiz meninggal dunia dan digantikan oleh Abu Mansur Ismail, anaknya yang berusia 17 tahun dengan gelar al-Dhafir. Ia seorang pemuda yang tampan dan lebih senang memikirkan para gadis dan nyanyian daripada urusan militer dan politik. Sebenarnya dalam kekhalifahannya dia hanyalah seorang boneka sebab kekuasaan semuanya di bawah pengaryh Wazir Abul Hasari bin Assalar. Pada tahun 1054 M, al-Adhafir dibunuh oleh anaknya Abbas, kemudian digantikan oleh anak laki-lakinya yang masih bayi bernama Abul Qasim Isa yang bergelar al-Faiz. Al-Faiz meninggal dunia sebelum dewasa dan digantikan sepupunya yang berusia Sembilan tahun yang bernama Abu Muhammad Abdullah al-Adhid.

Belum lagi al-Adhid memantapkan dirinya ke tahta kerajaan, Raja Yerusalem menyerbu Mesir sampai ke pintu gerbang kota Kairo. Perebutan kekuasaan terjadi sampai munculnya Salahuddin yang menggantikan pamannya sebagai Wazir. Salahuddin adalah seorang yang ramah sehingga dengan cepat mendapatkan simpati rakyat dan bahkan mengalahkan pengaruh khalifah. Langkan pertama Salahuddin mengirim ekspedisi militer melawan tentara Salib di Karak dan Subik, dan ia mendapat kemenangan pada perang itu. Rakyat Mesir Syi’ah maupun orang Turki dan Sunni sama-sama menganggap sebagai pelindung mereka menghadapi Salib di Syam. Perang itu terus berlanjut sehingga dibuat perjanjian dengan Richard De Lion Heart (Raja Inggris). Langkah berikutnya Salahuddin mengisi pos-pos urusan keagamaan dengan para fuqaha mazhab Sunni dan menendang oknum-oknum angkatan bersenjata yang tidak loyal. Kemudian, Nur Addin mengirim surat kepada Salahuddin agar menyebut nama khalifah Abbasiyah dalam khutbah jum’at menggantikan nama khalifah Fatimiyah walaupun Salahuddin tidak berani mengabulkannya tetapi Nur Addin tetap memaksanya

Kekuasaan al-Ayyubi jatuh dalam kekuasaan Sultan Mamluk tahun 1250 M. Merekalah yang mempertahankan Mesir dari serangan-serangan Salib dan membendung serangan- serangan kaum Mongol di bawah pimpinan Hulagu dan Timur Lenk, sehingga Mesir lepas dari penghancuran seperti yang terjadi di dunia Islam lainnya

Al-Adhid, khalifah Fatimiyah yang paling akhir meninggal dunia pada 10 Muharram 567 H/1171 M. Pada saat itulah Dinasti Fatimiyah hancur setelah berkuasa sekitar 280 tahun lamanya, kemudian Salahuddin sebagai Khalifah, sekte Ismailliyah kehilangan pamornya. Sinkron dengan telah dijadikannya paham Ahlussunnah wal Jamaah sebagai dasar dalam kehidupan keagamaan, maka berakhirlah kekuasaan Syi’ah Ismailiyah, dalam hal ini Dinasti Fatimiyah dari Kawasan Mesir

Faktor penyebab kemunduran Dinasti Fatimiyah di Mesir antara lain:

a. Terjadinya disintegrasi wilayah

b. Munculnya aksi perang salib

c. Kemunduran otoritas kekhalifahan

d. Terjadinya pemberontakan

e. Bencana kelaparan

f. Sikap pilih kasih khalifah

g. Konflik keluarga

h. Merekrut orang negro dan orang Turki sebagai tentara dan

i. Serangan yang dilancarkan oleh Salahuddin beserta tentaranya yang menyebabkan hancurnya khalifah fatimiyah

Sumber: Buku Sejarah Peradaban Islamperadaban islam peradaban islam di indonesia peradaban islam di spanyol peradaban islam pada masa khulafaur rasyidin peradaban islam adalah peradaban islam di andalusia peradaban islam pada masa dinasti abbasiyah peradaban islam pada masa dinasti umayyah peradaban islam mencapai puncak kejayaan pada masa khalifah



Related Posts

Post a Comment

mgid